PRESKON.ID – Karya-karya pelukis cilik Azzahra Adiva yang bakal dipamerkan di Galeri Merah Putih Balai Pemuda Surabaya pada 26-31 Juli 2025 menarik perhatian Anang Prasetyo, pembina Komunitas Padhang Njingglang.
Pria yang berprofesi sebagai penulis, guru sekaligus pelukis itu mengaku sangat kagum dengan karya-karya lukis yang diciptakan Azzahra Adiva yang masih berusia 6 tahun. Menurut Anang, Dalam konteks psikologi komunikasi, karya-karya lukisan Azzahra memiliki pesan non verbal.
Anang mengutip pernyataan Jalaludin, di mana pesan non verbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Fungsi metakomunikatif artinya memberikan informasi tambahan yang mempelajari maksud dan makna pesan.
“Ia juga menilai warna-warni dan bentuk imajinatif lukisan karya Azzahra, memiliki kekayaan imajinasi dengan membayangkan masa depan, cita-cita serta gagasan tentang alam,” kata Anang Prasetyo, Jumat (25/7/2025).
Menurut penulis buku “Menggambar dengan Memori Bahagia” itu, hal tersebut tampak jelas tervisualkan dalam karya Azzahra berjudul “Ikan Pari Ungu dan Kawan-kawan” (2025) berukuran 95×150 cm, yang bercerita tentang makhluk laut. Ubur-ubur, bintang laut, ikan pari dan aneka ikan-satwa laut yang seakan menari dengan penuh kegembiraan.
Warna-warninya sangat kompleks. Teknik yang Azzahra pakai juga demikian komplit. Ia demikian piawai memainkan kuasnya untuk ikut menari bergembira dan bersuka cita bersama makhluk penghuni dasar samudera seakan menambah keunikan karyanya. Dan ada beberapa mata kail yang menjadi umpan namun tak satupun ikan yang mau melahapnya.
“Karya itu seakan menjadi pesan kuat agar kelestarian alam di lautan tetap terjaga.Warnanya pun demikian dinamis. Azzahra tak memasukkan warna biru sebagai warna lautan. Kecuali hanya sedikit saja, justru warna hijau cerah yang tampak. Seolah membawa kesan bahwa keasrian alam di daratan juga termanifestasikan di dalam lautan,” ujar Anang.
Anang mengungkapkan, tak banyak pelukis anak yang ‘menggelora’ dalam warna-warni lukisannya. Sebab, anak-anak yang pada gambar awalnya, polos dan genuine itu, begitu penuh dengan dinamika jiwa rupa warna khas anak. Namun tatkala memasuki ruang kelas di sekolah, akhirnya punahlah rupa jiwa karya lukisnya. Atau, jika dimasukkan ke dalam sanggar lukis, maka punah pula ciri khasnya, karena menjadi ‘terjajah’ oleh gaya guru sanggar lukisnya.
“Banyak anak-anak yang memiliki nilai estetika karya yang bagus menjadi hangus. Itu semua tatkala berhadapan dengan kelas bernama sekolah atau bahkan sanggar sekalipun. Artinya, dengan model pembelajaran guru yang out of date, kualitas gambarnya menjadi rusak, justru oleh pembelajaran gurunya di sekolah dasar,” ucapnya.
Namun Azzahra Adiva termasuk beruntung, dia tidak termasuk di dalamnya. Dengan arahan yang tepat dari orang tuanya yang demikian peduli dengan bakat putrinya dan mengarahkan pembinaan kepada tangan yang tepat. Guru di sanggar lukis Daun bernama Arik S. Wartono, tidak sekadar mengarahkan sesuai gambar polosnya Azzahra, namun lebih dari itu, dia mampu menjaga kepolosan itu dengan pengembangan yang dinamis.
“Kepolosan gambar khas anak itu tetap terjaga dengan pengembangan warna, bentuk dan coretan yang benar-benar mengedepankan sebagaimana sinyalemen S. Soedjojono sebagai ‘jiwo kethok’,” pungkas Anang.