PRESKON.ID – Pelukis asal Bali Putu PW Winata bekerjasama dengan D Gallerie Jakarta menggelar pameran tunggal bertitel “Tutur Jatiluwih” di Kedai Kebun Forum, Jl. Tirtodipuran 3 Yogyakarta, 3-10 Juli 2024.
Dalam pameran tunggalnya yang ke-10 ini, alumni Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu memajang 14 karya lukis yang dihasilkan berdasarkan riset yang dilakukannya di Jatiluwih, sebuah kawasan persawahan subak bereputasi internasional di Bali.
Jatiluwih merupakan bagian dari Lanskap Subak Catur Angga Batukaru, salah satu situs sistem subak pada lanskap budaya Bali yang ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia. Sawah berteras di Lanskap Subak Catur Angga Batukaru disebutkan dalam prasasti dari abad ke-10 sehingga merupakan salah satu yang tertua di Bali.
Kurator Arif Bagus Prasetyo, dalam katalog pameran Tutur Jatiluwih, menyebut bahwa alam merupakan mata air kreativitas seni yang tak pernah kering bagi Putu Winata. Di sepanjang karier Putu sebagai perupa, alam selalu menjadi inspirasinya dalam melukis.
“Karya-karyanya bertema alam, menjelajahi berbagai segi materiel maupun spiritual alam. Lukisan-lukisan Putu menjelmakan visi estetik, intelektual, dan moral seorang perupa Bali yang sangat mencintai alam pada era antroposentris di dunia yang tidak ramah terhadap alam,” kata Arif Bagus Prasetyo.
Kurator yang tinggal di Denpasar itu menjelaskan dalam pameran tunggalnya yang bertajuk Tutur Jatiluwih, Putu Winata menampilkan sejumlah karya dari seri lukisan terbarunya yang berpusat pada subak.
“Karya-karya lain dari seri lukisan subak telah dipamerkan dalam Art Jakarta Gardens (April), Focus Art Fair New York (Mei), dan pameran tunggal Sabda Air di D Gallerie, Jakarta (Juni) pada semester pertama tahun 2024 ini,” jelasnya.
Subak adalah sistem irigasi khas Bali yang dikelola petani untuk mengairi lahan pertanian, terutama sawah. Komponen subak terdiri dari lanskap sawah berteras, persawahan yang dihubungkan dengan sistem saluran air, desa, pura, dan hutan yang melindungi pasokan air. Subak juga berarti perkumpulan petani pengelola air irigasi di lahan sawah. Sudah ada di Pulau Bali selama hampir 1.000 tahun, subak mewujudkan kearifan tradisional Bali tentang cara hidup yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Dalam aktivitasnya, subak dijiwai filosofi Hindu-Bali tentang hubungan harmonis antara tiga unsur utama pembentuk kehidupan, yaitu Tuhan, alam, dan manusia. Filosofi ini dikenal sebagai Tri Hita Karana atau “tiga jalan menuju kebahagiaan hidup”. Tri Hita Karana mengajarkan harmoni antara manusia dan Tuhan, harmoni antara sesama manusia, dan harmoni antara manusia dan alam.
Arif Bagus mencontohkan salah satu seri karya lukisan Putu Winata yang berjudul “Memuliakan Air” mencerminkan posisi air sebagai sumber daya yang sangat penting bagi petani. Bagi petani di Bali, air bahkan dimuliakan sebagai perwujudan Dewa Wisnu. Air bukan saja bernilai vital, tetapi juga dianggap sebagai benda keramat. Sistem subak merupakan mekanisme untuk berbagi air secara adil agar tidak timbul konflik akibat perebutan air.
“Dalam konteks yang lebih luas, seri lukisan “Memuliakan Air” menyarankan urgensi sikap memuliakan air. Pada era perubahan iklim global, ketika sumber daya air semakin menipis, air harus digunakan secara bijaksana dan bertanggung jawab,” ujar Arif Bagus.
Arif Bagus mengungkapkan bahwa Jatiluwih secara spesifik mengilhami penciptaan seri lukisan “Tutur Jatiluwih” dan “Jatiluwih Series”. Dua seri lukisan ini mengetengahkan tanggapan batin Putu Winata atas pengalamannya bersentuhan dengan suasana alam, denyut budaya, dan kehidupan masyarakat di kawasan sawah berteras Jatiluwih.
“Visual sejumlah lukisan menggemakan panorama alam Jatiluwih yang berada di lereng gunung berhutan lebat. Sebuah panorama yang menghamparkan keindahan dan sekaligus misteri,” ujarnya.
Meskipun demikian, lukisan Putu bertema Jatiluwih bukan hanya berbicara mengenai lanskap. Karya-karya itu mencerminkan kompleks pengalaman fisik, visual, spiritual dan intelektual Putu tentang Jatiluwih. Kesan yang diperoleh dari interaksi dengan petani, berbagai cerita dan keluhan mereka, turut mewarnai ungkapan abstrak lukisan Putu. Putu tidak melukis Jatiluwih, melainkan berdialog akrab dengan Jatiluwih.
“Putu tidak melukis Jatiluwih, melainkan berdialog akrab dengan Jatiluwih,” pungkas Arif Bagus. (esef)